Tuesday, February 20, 2007

Surat Kepada Teman

Saya sudah enam tahun tinggal di Bandung, Jawa Barat, di daerah pusat kota. Pada tahun ketiga (sekitar 2001) ada seorang Bali bernama Bli Gede Baru. Saya sebut begitu karena usianya tiga tahun lebih tua dari saya, datang dari Yogya seorang diri, bukan dengan menumpang bus atau kereta api, tapi dengan bersepeda, ya....bersepeda gayung.

Kami bertemu di Asrama Mahasiswa Bali Otten. Di sana kami ngobrol dengan teman-teman sesama mahasiswa Bali yang tinggal di Bandung. Bli Gede bercerita bahwa dirinya bersepeda dari Yogya (karena kuliah di sana), lalu menuju Bandung. Perjalanannya akan dilanjutkan ke Jakarta, yang selanjutnya menuju Pantura dan akan berakhir di Bali. Dia bersepeda dalam usaha meminta dukungan dana kepada para donatur yang ada di daerah-daerah tadi, untuk renovasi Pura yang berlokasi di daerah Gunung Kidul Yogyakarta.

Yang paling membuat saya terharu adalah kondisinya yang (maaf) cacat fisik. Untuk berjalan Bli Gede memerlukan bantuan sebuah tongkat kaki, karena ketidaksempurnaan kondisi kaki kanannya. Tapi walau begitu, dia dapat mengayuh sepeda dengan baik, tentu saja dengan membawa serta tongkat kakinya ke mana-mana bersama sepedanya.

Bli Gede mengisahkan perjalanannya dari Yogya, menyusuri jalan-jalan sepi sendirian di malam hari. Kadang terlintas rasa takut di benaknya ketika melewati daerah kuburan yang sepi sendirian di malam hari. Halangan lain yang dia hadapi adalah ketika di jalan tanjakan. Bli Gede terpaksa turun dari sepeda, menuntun sepedanya, sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat kaki. Bahkan celananya sampai aus (bubul-bahasa Bali) karena lamanya bersepeda. Di tengah perjalanan dia biasa menginap di rumah penduduk yang dengan simpatik menerima kehadirannya, atau bahkan menginap di pos/kantor polisi. Bli Gede dalam perjalanannya hanya membawa beberapa set pakaian, sebuah tas punggung, tongkat kaki, surat pengantar, dan sepeda Federalnya.

Terakhir saya ditelepon oleh Bli Gede, katanya sudah sampai di Jakarta. Sampai saat ini, saya tidak mendengar lagi kabar darinya, apakah sudah di Yogya lagi atau masih di Bali.

Saya sangat terkesan dan kagum dengan semangat hidup Bli Gede. Kondisi fisik tidak menjadi halangan baginya untuk mengabdikan hidupnya bagi kepentingan orang lain. Saya juga seorang biker (suka bersepeda), saya mengerti sekali letihnya bersepeda jarak jauh, apalagi sampai antar pulau, dengan kondisi fisik yang tidak sempurna pula.

Bli Gede telah berbuat sesuatu bagi umat Hindu di Gunung Kidul, apakah kita yang diberi kesempurnaan fisik ini bisa melakukan Dharma seperti yang dilakukan Bli Gede?

I Kadek Suparta
Asrama Mahasiswa Bali Otten
Bandung
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/2/20/s2.html

KTP di Gilimanuk

Saya sudah enam tahun di Bandung, pulang ke Bali satu semester atau kadang setahun sekali, lewat jalan darat melalui gerbang Bali, yaitu Gilimanuk.

Sejak tragedi bom Bali, pemeriksaan pendatang di gerbang-gerbang masuk Bali diperketat, diantaranya dengan pemeriksaan KTP, termasuk pula di Gilimanuk. Pemeriksaan masih dilakukan sampai sekarang (terakhir saya pulang tahun baru 2005), akan tetapi ternyata terjadi kecolongan pada pemeriksaan KTP tersebut.

Apabila pendatang begitu turun dari ferry penyeberangan langsung naik ojek, maka ia akan secara otomatis luput dari pemeriksaan KTP yang dilaksanakan petugas. Pengendara ojek biasanya langsung menjemput penumpang yang turun dari ferry dan menawarkan jasanya. Penumpang ini akan dibawa memutar tanpa melewati pos pemeriksaan KTP.

Kalau tujuan Pemda untuk mengawasi dan membatasi para pendatang tanpa identitas menuju Bali, maka hal ini adalah suatu kecolongan, yang bahkan mungkin sudah terjadi sejak aturan pemeriksaan ini diterapkan.

Mohon kepada pihak yang terkait untuk lebih memperketat lagi sistem pemeriksaan, dan kepada para pengendara ojek untuk tidak mengelabui petugas yang akhirnya hanya akan merugikan kepentingan bersama.

I Kadek Suparta
Asrama Mahasiswa Bali Otten,
Bandung

Pengelolaan Sampah di Tangkuban Perahu

Saya telah beberapa kali melakukan cross country (jalan kaki) dari gerbang kawasan wisata Tangkuban (Cikole) sampai ke Kawah Ratu untuk sekedar refreshing. Kesan yang saya peroleh adalah pengelolaan sampah di kawasan ini buruk dan kurang mendapat perhatian dari pengelola kawasan hutan.

Berikut adalah kondisinya:
1. Terdapat beberapa lokasi penimbunan sampah (organik dan nonorganik) di dekat gerbang masuk Kawah Domas. Sampah-sampah ini ditimbun begitu saja di jurang tepi jalan.
2. Jumlah tong sampah di kawasan Kawah Ratu sangat sedikit, dan tanpa memiliki TPA.
3. Para pedagang di Kawah ratu membuang sampah di kawasan hutan di belakang warung mereka, tanpa memiliki TPA bersama.
4. Para pengunjung membuang sampah sembarangan di kawasan puncak, maupun selama perjalanan dari gerbang Cikole sampai Kawah.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena kawasan Kawah merupakan objek wisata yang dikunjungi tidak hanya oleh masyarakat Jawa Barat, tapi juga pendatang luar kota. Hutan Tangkuban juga merupakan habitat bagi sejumlah kera yang mendiami hutan daerah Kawah Ratu dan Kawah Upas. Kawasan ini juga merupakan tempat mencari nafkah bagi masyarakat di sekitar Cikole dengan berdagang atau jasa wisata.

Saran yang mungkin harus diperbaiki oleh Pemda pengelola kawasan, adalah:
1. Membersihkan timbunan sampah di tepi-tepi jurang (jurang ini tidak terlalu terjal dan tidak dalam)
2. Membuat TPA sementara untuk sampah para pedagang dan pengunjung, kemudian dipindahkan ke suatu lokasi pengolahan akhir.
3. Menyediakan lebih banyak tong-tong sampah di kawasan Kawah Ratu, Kawah Upas, dan di lokalisasi pedagang.

Untuk pengunjung dan para pedagang, marilah kita jaga bersama-sama kebersihan kawasan Kawah. Kawasan wisata ini milik kita bersama, kita mencari rejeki di kawasan ini, kita juga mencari ketenangan dan refreshing di kawasan ini, mengapa kita memperlakukannya begitu buruk (buang sampah sembarangan dan mencoret-coret batu)? Marilah kita mulai dari sekarang, dan harus dimulai dari diri sendiri.

I Kadek Suparta
Cisitu Lama VA 160B Bandung

Pura Goa Lawah


I Kadek Suparta / 28-08-2005

TOPIK : Pelanggaran Tata Krama Ngeranjing Di Pura Goa Lawah
ASPIRASI :Seringnya Pelanggaran Tata Krama Ngeranjing Di Pura Goa Lawah

Om Swastyastu,
Pura Goa Lawah Merupakan Salah Satu Kahyangan Jagat Yang Terdapat Di Kabupaten Klungkung. Tapi Sebagai Sebuah Kahyangan Jagat, Penghormatan Terhadap Nilai-nilai Kesakralan Di Pura Goa Lawah Sangatlah Rendah.

Pengunjung Dapat Seenaknya Ngeranjing Ke Utama Mandala Pura,, Seperti:• Hanya Memakai Selendang, Dengan Tetap Bercelana Panjang• Kaum Wanita (tamu Dan Turis) Yang Tidak Jelas Apakah Sedang Cuntaka (datang Bulan)• Berlalu-lalang, Berdiri Berfoto-foto, Sementara Ada Krama Yang Duduk Bersembahyang. Akankah Hal Seperti Ini Terus Dibiarkan?

Saya Sudah Mengamati Terjadinya Hal Ini Semenjak Beberapa Tahun Yang Lalu. Tulisan Saya Tentang Pelanggaran Tata Krama Di Pura Goa Lawah Sudah Pernah Dimuat Bali Post Beberapa Semester Lalu, Namun Tanggapan Dari Pemda Klungkung Sampai Saat Ini Belum Juga Terealisasi. Perhatian Dari Pemda Klungkung Sangatlah Kurang Terhadap Pelestarian Nilai-nilai Kesakralan Di Pura Goa Lawah. Hal Ini Terlihat Dari Tidak Tegasnya Pengaturan Ngeranjing Pura. Para Guide Yang Umumnya Orang Bali, Malah Membiarkan Saja Hal Yang Memalukan Ini Terjadi.

Menurut Saya Ini Adalah Suatu Kesalahan Yang Sangat Besar, Bahwa Pemda Sebagai Aparat Yang Berwenang Sampai Membiarkan Pura Kahyangan Jagat Menjadi Ajang Bisnis Dan Membiarkan Kesakralannya Terabaikan. Seharusnya Tamu Dan Turis Yang Tidak Akan Bersembahyang Dilarang Keras Ngeranjing Sampai Ke Utama Mandala Pura. Kalau Mau Ngeranjing, Hanya Boleh Sampai Madya Mandala, Dan Itupun Harus Memakai Kain Lengkap Dengan Selendang. Sangat Menyedihkan Melihat Ketika Ada Krama Yang Sedang Duduk Bersembahyang, Tiba-tiba Diganggu Oleh Tamu Domestik Yang Bercelana Panjang, Berlalu-lalang Berdiri Berfoto-foto Dengan Cuek Mengabaikan Ada Krama Yang Sedang Duduk Bersembahyang Di Sebelahnya. Saya Merasa Emosi Melihat Hal Ini Terjadi, Namun Tidak Berdaya. Apakah Saya Harus Marah Kepada Tamu Tersebut, Padahal Harus Menahan Amarah Di Areal Pura? Kalau Saya Memberi Tahu Satu Orang Tamu, Bagaimana Dengan Tamu-tamu Yang Lainnya? Akhirnya Saya Hanya Diam Seribu Bahasa, Sambil Meratap Sedih Di Dalam Hati.

Yang Terhormat Pemda Klungkung, Kalau Memang Tidak Bisa Mengelola Dengan Baik Pura Kahyangan Jagat Goa Lawah, Serahkan Saja Tanggung Jawabnya Kepada Krama Desa Goa Lawah, Tentunya Dengan Pengelolaan Retribusi Yang Diserahkan Pula Tanggung Jawabnya Kepada Krama Desa, Namun Dengan Tetap Memperhatikan Kewajiban Retribusi Ke Pemda. Dengan Cara Seperti Ini, Saya Yakin Bahwa Krama Desa Akan Mengelola Pura Dengan Baik, Secara Sekala Maupun Niskala, Dan Pemda Pun Tetap Mendapat Retribusi Dari Keberadaan Pura Sebagai Obyek Wisata. Terima Kasih, Dan Mohon Maaf Atas Segala Kekurangan Saya.

Om Shanti…Shanti…Shanti…Om

I Kadek Suparta
Jl. By Pass Ngurah Rai 73 Kedonganan, Kuta-Bali
mailto:kadeksuparta@yahoo.com) 705 692 - 081 7027 2346

TANGGAPAN :
Trima kasih atas sumbang sarannya. Hal akan kami sampaikan kepada instansi terkait dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung untuk memberi tanggapan lebih lanjut.



http://www.klungkung.go.id/main.php?go=kritik_list&id=17

Pemda Bali

Perbaikan Bali Dimulai dari Pemda

Saya hendak meneruskan sebuah surat dari pembaca Bali Post edisi Jumat 5 Januari 2007 tentang Bali. Tiga tahun lalu saya pernah ke Prancis, saya sempat bertanya kepada seorang warga mengenai Bali. Dia menjawab bahwa Bali adalah impian setiap orang di Prancis. Saya merasa sangat bangga mendengar jawaban ini.
---------

Saya juga membaca sebuah buletin edisi Oktober 2006 dari KBRI Kuala Lumpur, bahwa menurut hasil survai sebuah majalah pariwisata terkenal di Amerika, Bali terpilih sebagai daerah tujuan wisata nomor satu dari warga negara Paman Sam ini.


Institusi saya juga mendapat kunjungan dari seorang guru di Perth, Australia. Saya tanyakan pula tentang Bali, dia menjawab Bali adalah daerah tujuan utama dari warga Australia (saya rasa semua warga Bali sudah mengetahui hal ini). Dia juga menjawab bahwa bagi warga Australia, Bali adalah Sister City (Kota Kembar, menganggap seperti rumah sendiri) dari Australia. Masih banyak lagi komentar positif dan kekaguman yang kita dengar mengenai Bali, baik di TV, media cetak, ataupun perorangan.


Tetapi di balik semua kebanggaan itu, saya merasakan kekecewaan, bahwa Pemda Bali, komponen pariwisata, dan sebagian warga seakan tidak menyadari potensi yang dimilikinya. Pemda, komponen pariwisata, dan sebagian masyarakat seakan lupa bahwa payuk jakan berada pada industri pariwista, mereka tidak berusaha untuk berinvestasi dan memelihara untuk masa depan pemeliharaan aset wisata Bali, baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan budaya. Semua diekspos dan dieksploitasi tanpa memperhatikan batas-batas yang harus dipatuhi demi pelestarian sumber daya itu sendiri.


Warga Bali sebenarnya sudah bisa mengelola daerahnya sendiri secara otonom (banjar, desa adat) tanpa bantuan pemda. Tapi, antardesa adat perlu bersatu dalam visi misi yang sama, dan terkoordinasi satu sama lain untuk pemeliharaan sumber daya Bali. Fungsi inilah yang seharusnya diperankan pemda sebagai aparat pemersatu pemerintahan-pemerintahan adat di Bali. Tetapi bagaimana kenyataannya? Pemda-pemda hanya sebagai aparatur atasan yang terlepas (disfungsi, disorder) dari masyarakat adat yang seharusnya dinaunginya, bahkan institusi gubernur hanya sebuah posisi mandul yang selama ini tidak berperan signifikan dalam pengembangan dan konservasi Bali. Seharusnya gubernur dijabat oleh seorang yang proaktif dan bervisi kerakyatan, yang berusaha membina Bali yang kian terpecah-pecah ini.


Jadi menurut saya, perbaikan Bali harus dimulai dari pemda, terutama gubernur yang visioner dan merakyat. Dengan kepemimpinan yang solid dan produktif, otomatis pemerintahan-pemerintahan adat akan lebih terorganisir dan bersatu menuju masa depan Bali.

I Kadek Suparta

Sekolah Indonesia Kuala Lumpur

Jl. Lorong Tun Ismail No. 1KL 50480, Malaysia