Sunday, December 07, 2008

Wolter Mongisidi

Mongisidi adalah pahlawan nasional yang paling unik. Dia bukan seorang militer. Tidak menyandang pangkat kemiliteran apapun. Bukan pejabat negara yang punya kekuasaan atau bangsawan yang punya kharisma. Dia juga bukan tokoh masyarakat yang punya massa dengan kaitan emosional. Mongisidi ya Mongisidi. Seorang patriot yang tak punya apa-apa. Satu-satunya yang dia miliki hanya kehormatan. Kehormatan harga diri bangsanya yang dia bawa sampai mati.

Saya beruntung sekali, bisa mencium harumnya kepahlawanan Mongisidi dari pengalaman langsung orang tua saya. Kebetulan, ayah saya berkenalan serta berteman baik dengan Mongisidi, terutama di saat-saat akhir hayat pria Bantik (Minahasa) itu.

Tembak mati

Suatu malam ayah saya makan malam bersama Dr. Chris Soumokil, pendiri Republik Maluku Selatan bersama keluarganya di rumah ibu pejuang terkenal Sulawesi Selatan, Patta Kandjene, di Pare-Pare, sebuah kota di utara Sulawesi Selatan. Hari itu 5 September 1949. Setelah makam malam itu, ayah saya bergegas ke rumah dr. Soeparto. Dia seorang dokter yang banyak membantu kaum nasionalis yang cedera, kala melawan pendudukan NICA di kawasan Sulawesi Selatan.

Di rumah dr. Soeparto itu, berita kematian Mongisidi pertama kali diketahui umum, Ketika tengah malam, ayah saya menerima telepon dari sahabatnya, dr. Darjono, yang kelak menjadi perwira intelijen dalam operasi pembebasan Irian Barat yang dipimpin Soeharto (kemudian menjabat presiden RI). Suara dr. Darjono terdengar gugup dan datar, seolah ada yang sulit diungkapkan.

“Bote sudah mereka eksekusi…!”, kata dr. Darjono. Bote adalah nama akrab Wolter Mongisidi. Dia juga menambahkan, bahwa eksekusi dilakukan dini hari. Mendengar suara itu ayah saya langsung lemas dan sangat sulit untuk percaya. Lalu dia mendesak ayah saya untuk memberitahu kematian Mongisidi kepada Ibu Salawati dan Henk Rondonuwu. Keduanya tokoh pejuang Sulawesi Selatan.

Eksekusi mati Mongisidi membuat gempar kota Pare Pare, yang lama mengetahui sepak terjang heroiknya. Bahkan ketika kembali ke Makassar, masyarakat di sana sangat emosional dan eksplosif. Para tokoh kemasyarakatan dan parlemen Negara Indonesia Timur mendesak agara jenasah Mongisidi dipindah ke pemakaman kristen. Mereka marah!

Digali kembali

Melalui suatu kesepakatan dengan Belanda, kuburan Mongisidi digali kembali setelah 30 jam dieksekusi. Lokasi penggalian terletak di daerah Tallo. Sebuah tempat di luar kota Makassar. Tak sembarang orang diijinkan ikut penguasa Belanda. Ayah saya beruntung, bersama dr. Darjono dan seorang sahabat bernama Sangkala, serta beberapa orang lainnya, yang bisa ikut menyaksikan penggalian kembali. Tentunya tak lepas dari pengawasan beberapa perwira Koninklijke Landmacht, tentara kerajaan Belanda, serta seorang sersan Belanda berusia 35 tahun. Si sersan ini seorang algojo yang kerap hadir dalam penjagalan lawan-lawan Belanda. Suaranya serak dan berat yang mengekspresikan bisnisnya dengan pencabutan nyawa manusia.

Suasana penggalian begitu mencekam dan mendebat. Tanah yang masih lembab itu digali perlahan dan semua mata terpaku ke liang lahat. Ada juga menyaksikan seorang pendeta KNIL (tentara Hindia Belanda) yang kerap menggenggam Injil ditangannya. Ayah saya mencoba memberi isyarat kepada Sangkala supaya mengambil foto. Tapi langsung digubris dan dipelototi oleh si algojo dengan nada mengancam untuk menghancurkan kamera kami. Namun rekan ayah saya Darjono berhasil mendekati si algojo sehingga melunakan hatinya. Sejak itu sang algojo mau diajak bicara dan mulai buka mulut,

“Anda menyaksikan Mingisidi ditembak?”, tanya ayah saya kepada si algojo. Saat pertanyaan itu meluncur, seketika muncul sikapnya sebagai seorang prajurit sejati yang jujur dan obyektif. Dengan ekspresi menyeramkan, si algojo mengungkapkan perasaannya.

“Ik heb nooit in mijn leven zo’n brave kerel gezien”. “Belum pernah sepanjang hidup saya melihat orang sesatria dia”, si algojo mengaku. Ketika didesak mengapa dia berpendapat seperti itu. Dengan jujur dia menjelaskan, “Dia (Mongisidi) adalah seorang satria, seorang pemberani dan teguh dengan keyakinannya” Kata si algojo, Mongisidi tidak pernah menunjukkan ekspresi goyah atas apa yang ia percayai. Tak ada keraguan sedikitpun pada dirinya. Waktu matanya mau ditutup sehelai kain saat dieksekusi, Mongisidi menolak mentah-mentah. Bahkan dia tak mau tangannya diikat di tiang eksekusi seperti biasa seorang akan dieksekusi. Dia menatap penuh ketenangan para penembaknya. Matanya tak berkedip di saat-saat terakhir peluru menghancurkan tubuhnya.

Sebelum kedua belas anggota regu tembak menghentikan hidupnya, seorang pendeta Kristen sempat berdoa dengannya, Mongisidi mengucapkan terima kasih sambil memegang erat tangan sang pendeta sambil mengeluarkan beberapa kalimat ksatri. “Saya bersedia hadapi kenyataan ini dengan ketabahan dan keimanan”.

Si algojo bermuka bengis itu, juga mengungkapkan suatu fakta yang sulit dia terima. Menurut ceritanya, Mongisidi sempat mengucapkan kata-kata terakhir kepada regu tembak yang akan meremukkan tubuhnya. “Laksanakan tugas saudara-saudara. Saudara-saudara memang tidak bersalah, hanya melaksanakan tugas. Saya memaafkan saudara dan semoga uhan mengampuni dosa-dosa saudara!” Pernah seorang jaksa dari pengadilan Negara Indonesia Timur pernah datang ke sel tahanannya dan memberi tahu bahwa kedua orang tuanya telah meminta grasi. Syaratnya, Mongisidi harus menandatangai surat grasi itu.

Wat? Gratie? Ga naar de maan!”. Apa? Grasi? Persetan! Saya tidak membutuhkannya!, jawab Mongisidi dengan nada suara setengah berteriak.

Mendengar ucapan itu, si jaksa kaget dan membalikkan badannya sambil keluar dan memalingkan pandangannya kepada seorang kawannya,“Dat is pas een brave karel!”

Itu baru bilang pemuda satria sejati!

Tak ada suara mengerang keluar dari mulur Mongisidi ketika meluru mendentum serentak mencabut nyawanya. “Sungguh luar biasa! Saya hampir-hampir tidak percaya melihat orang semacam dia”, kata sersan algojo itu memuji musuhnya yang kuburannya sedang digali kembali.

*) Foto bersama di Kiskampement Makasar tanggal 20-4-1949 tempat Wolter Wobert Monginsidi (berdiri paling kiri) ditahan. Tampak ayahnya Petrus Monginsidi (duduk), Kakaknya, Joseph dan Jan Monginsidi.

Ayah saya melihat sendiri bagaimana kokohnya keteguhan seseorang akan kebenaran yang diyakininya , seperti yang dipertunjukkan saat mayat Mongisidi digali kembali. Wajah Mongisidi terlihat seperti tidur nyenyak dalam peti yang lembab. Jenazahnya tak menyebarkan bau yang tak sedap, Pakaiannya begitu sederhana. Kepala terbaring bukan diatas bantal, tetapi di atas Injil. Dalam kitab suci itu terselip secarik kertas bertuliskan. “Setia hingga terakhir didalam keyakinan. Tertanda 5 September 1949. RWM”. RWM adalah kependekan nama lengkapnya, Robert Wolter Mongisidi.

Orang awam jadi pahlawan nasional

Wolter Mongisidi membuktikan bahwa orang awam pun bisa jadi pahlawan, meskipun apa yang dia perbuat tak mengharapkan sesuatu pujian. Apalagi diberi gelar pahlawan nasional. Sebuah sebutan tertinggi untuk sebuah pengorbanan untuk negara.

Sampai sekarang susah menjumpai pahlawan nasional yang berasal dari kalangan awam. Pahlawan lebih dilihat sebagai pekerjaan yang dijalani seorang mantan pejabat negara, perwira militer atau kaum bangsawan, yang secara mampu melakukannya, karena dia punya otoritas untuk melakukannya.

Bung Tomo dan juga Mongisidi adalah contoh yang ingin membakukan pengertian pahlawan. Bahwa pahlawan adalah orang yang melakukan darma yang memang bukan pekerjaannya. Kalau saya membesarkan anak saya sampai berhasil, saya bukan pahlawan bagi keluarga. Memang seharusnya begitu. Pahlawan di Indonesia selalu diartikan sebagai tindakan heroik dalam arti kontak fisik dan membuat kebijakan politis yang menguntungkan Indonesia. Dan orang itu “harus suci” dari kesalahan manusiawi. Makanya pahlawan pasti orangnya sudah mati. Takut-takut kalau masih hidup bisa berbuat sesuatu yang melunturkan nilai heroic yang pernah dibuatnya.

Pahlawan jadi brand

Yang aneh sekarang adalah memori kita tentang pahlawan. Untuk mengenang jasa-jasa mereka, kita banyak dibantu dengan sebuah brand atau produk. Banyak yang tak tahu siapa Gajah Mada. Tapi siapa yang tak kenal Bak Mie Gajah Mada? Hampir semua tahu dan pernah makan di McDonal Sarinah Thamrin. Tapi siapa yang tahu perjuangan Sarinah dan siapa itu Thamrin?

Bayangkan kalau ada kalimat “McDonald Sarinah Thamrin, bukan cabang di Tendean sama di Halim. Letaknya antara Sudirman Tower dan Universitas Bung Hatta, berhadapan dengan Rasuna Imperium, di ujung Imam Bonjol, tak jauh dari ayam goreng Hayam Wuruk dan apotik Mongisidi”

*) Bandara Wolter Monginsi di terminal baru Bandar Udara Wolter Monginsidi, Kendari.

Untunglah kita masih mengenal nama pahlawan dari brand atau nama jalan. Pak Harto pernah melarang penggunaan pahlawan menjadi nama brand. Tapi upaya itu mulai luntur seiring dengan kejatuhannya. Memang ada beberapa tokoh yang berwasiat agar namanya tidak diabadikan untuk sebuah penamaan jalan atau bangunan. Namun itu tak bisa membendung keinginan masyarakat untuk mengenangnya.


Taken from www.kompas.com

No comments: